Hari kian berlalu. Segala
pengalaman dan perjuangan hidup telah banyak ayah dapatkan daripada diriku yang
masih bisa dikatan sebagai anak bau tanah. Setiap aku bersama ayah, aku selalu
merasakan kedamaian dan ketentraman. Aku selalu merasa ayah akan selalu
menjagaku, memelukku jikalau aku mulai meringsut lemah tak berdaya akibat
persaingan hebat kehidupan dunia. Ayah selalu menepuk pundakku dengan penuh
kenyakinan, ia membisikkan kalimat motivasi padaku agar aku tetap berdiri tegap
walau dunia tak merestuinya.
Beberapa bulan lalu, tepat pada
umurku yang menginjak usia 15 tahun, ayah mengantarkanku menuju gerbang masa
depan. Ya, ayah mengantarkanku menuju salah satu MAN (setara dengan SMA) favorit di kotaku. Disinilah, aku akan
melanjutkan belajarku untuk 3 tahun kedepan. Aku yang selama ini dekat dengan
ayah dan ayah yang selama ini mengurusi
ini itu mengenai kebutuhanku, kini harus merelakanku berdiri pada kaki ku
sendiri. Karna, ayah memintaku untuk nge-kost daripada mengendarai sepeda motor
sendiri tuk berangkat dan pulang sekolah. Walau harus ku akui bahwa dalam
benakku yang paling dalam, aku sedikit kecewa dengan keputusan tersebut. Namun,
kini aku nyakin dan semakin nyakin bahwa keputusan itulah yang kini menyelamatkanku
dari rasa capek jika aku harus bolak-balik dari rumah ke sekolah dengan jarak
yang tak kurang dari 27 km.
Kini, ditengah-tengah kesibukan
menjadi siswa baru di sekolah yang juga asing bagiku, aku merasa sangat capek,
aku merasa lemah, aku bisa merasakan betapa susahnya kehidupan di dunia tanpa
kerabat di sekeliling kita. Berkali-kali aku ingin mengirim pesan singkat pada
ayah namun niat itu aku urungkan. Setiap aku mulai memegang pena tuk mengatakan
apa yang aku rasakan sekarang, aku selalu berfikir, aku tak mau mengecewakan
ayah yang telah rela mengorbankan harta, tenaga, serta nyawanya untuk anaknya
yang tak pernah bisa mandiri ini.
Hingga suatu hari, aku pernah
mengetahui ayah sedang mengumpat dan menyumpah serapahi seseorang yang tak aku
kenal dengan kata-kata yang sangat kasar. Sungguh, walau bukan aku yang
diolok-olok ayah namun hati ini turut tersayat-sayat. Selama ini yang ku tahu,
ayah adalah seorang yang bijaksana dan selalu mengajarkan kebenaran pada
diriku. Ia jugalah yang mengajariku agar selalu berkata dan berbudi yang baik.
Namun, sungguh mata ini tak bisa memungkiri bahwa apa yang aku lihat saat itu
adalah keadaan dimana ayah sedang marah besar terhadap seseorang. Sejak saat
itulah, aku merasa dunia ini roboh, aku merasa dibohongi. Hanya ayahlah yang
aku miliki. Ia penompang semangatku tuk tetap hidup dan berkarya. Dia lah yang
selalu membangkitkanku. Namun aku sungguh kecewa dengan perlakuannya yang aku
tak tahu apa sebab dari peristiwa itu dan aku memang tak pernah mau mengetahuinya.
Sudah beberapa bulan ini aku tak
pulang ke kampung halaman. Aku sudah mulai bisa beradaptasi dengan lingkungan
di kost-kost-an yang di kelilingi oleh teman-teman yang baik dan seru. Ayah tak
pernah menengokku, apalagi sekedar menelponku tuk menanyakan kabar. Jujur aku
rindu akan kalimat motivasinya yang selalu membuatku semakin kokoh berdiri bak
pohon yang dipupuk dengan pupuk berkualitas. Hingga kini, pada penghujung bulan
ramadhan, ayah tak menjemputku dari tempat kost. Padahal, mulai 2 hari lalu sekolah
sudah memberikan libur untuk penyambutan
hari raya. Hari berganti hari, aku selalu menunggu ayah di depan gerbang
sendirian, berharap ayah akan datang dengan senyumnya yang sangat manis. Namun,
semakin aku menunggunya, hati ini semakin sesak dan air mata ini tak bisa
dibendung. Jikalau sudah begitu, kakak senior di kost ku selalu mengajakku
masuk dan menyuruhku mengambil air wudhu’ lalu mengajakku mengaji. Dalam setiap
kata dalam al-quran selalu kubaca dengan iringan air mata yang terus menetes.
Hingga suatu hari aku berniat tuk menghadiahkan mushaf kecil kesayanganku ini
untuk ayah yang lebih kusanyangi. Semoga ayah bisa melihat betapa pilunya batin
ini karna perubahan sikapnya. Semoga
al-qur’an ini bisa menyampaikan pesan rindu padanya. Semoga dan semoga. Hanya
harapan lah yang selama ini bisa terucap dari mulutku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar