Malam sunyi, udara kamar panas bercampur pengap. Kulangkahkan kaki
menuju pintu utama tuk sejenak menghirup udara malam yang segar. Aku
lebih suka menghabiskan malam sebelum tidur dengan duduk-duduk di teras
memperhatikan indahnya bulan dan sahabatnya, para bintang.
“Bulan,
aku iri padamu. Kau punya banyak bintang sebagai sahabat dalam malammu.
Kau punya matahari yang dengan percuma memancarkan sinarnya ke wajahmu
hingga kau begitu indah. Kau punya hamparan langit sebagai pijakan.
Hidupmu pasti sangat bahagia dengan adanya mereka semua. Sedangkan aku,
tiada sahabat, tiada ayah, tiada ibu, tiada pijakanku untuk melangkah.
Aku hanya punya abah dan umi. Mereka yang merawatku, menjagaku, dan
membesarkanku setelah ayah dan ibu dipanggil Tuhan. Bulan, aku sangat
merindukan ayah dan ibu. Dapatkah kau mengintip surga? Katakan pada
mereka bahwa aku sangat rindu.” Curhatku sambil mengamati kerlipan
benda-benda bercahaya di langit.“ehemm..”
“Abah, sejak kapan Abah di situ?” tanyaku seraya beranjak dari tempat duduk.
“Amel, tampaknya kau belum bisa merelakan kepergian orang tua mu” jawab abah to the point.
Aku hanya bisa diam tertunduk. Pandanganku menerawang. Tapi aku lebih tenang dengan kedatangan abah di samping ku. Aku selalu merasa nyaman dengan setiap petuah yang diucapkannya. Dalam hidupku, aku menyebutnya sebagai malaikat yang diturunkan Tuhan tuk menjaga ku.
“Amel, orang yang sudah tercabut nyawanya maka akan terputus semua amalnya kecuali 3 perkara. Pertama, anak sholeh yang mendoakan orang tuanya, kedua, ikhlas beramal jariyah, dan ketiga adalah ilmu baik serta bermanfaat. Amel, selagi kamu masih di dunia, doakanlah kedua orang tuamu. Mereka akan lebih senang dan lebih tenang dengan doa-doa mu daripada kau terus menerus meratapi kepergian mereka.” Jelas abah.
Ku simak setiap untaian kata-kata bijak abah. Hatiku merintih ingin menangis, namun mata ini terlalu kering tuk meneteskan setitik air mata.
“Abah, boleh aku menanyakan suatu hal?” Tanyaku masih dengan tertunduk.
“hmm” Jawabnya singkat.
“Amel ingin seperti abah. Amel ingin mewarisi sifat abah yang tak pernah putus asa. Apa Abah punya rahasianya?”
Abah terkekeh-kekeh.
“kenapa Abah tertawa?” tanyaku semakin penasaran.
“sudah malam. Cepat tidur, ini sudah hampir jam 11. Lain hari saja abah ceritakan RAHASIAnya.” Ucap abah dengan memberi tekanan pada kata rahasia.
Aku semakin mengerutkan dahi kebingungan. “Padahalkan, tadi aku bilang rahasia karena asal nyeplos aja” gumamku sambil berlalu menuju kamar.
~$~
“Amel, bisakah kau bantu Umi sebentar?” teriak Umi dari dapur.
“Iya, Umi.” Ku letakkan secarik puisi yang baru kubuat di sela-sela buku dan bergegas menuju dapur.
“Amel, tadi istri Ustad Hamzah kesini untuk pesan kue. Tapi Umi lupa menanyakan berapa kue yang diperlukan. Kamu bisa ke rumah Ustad Hamzah untuk menanyakannya?”
“Baik, Umi”
Rumah Ustad Hamzah begitu sepi. Namun, pintu depan terbuka lebar seperti biasanya.
“Assalamu’alaikum” teriakku dari balik pagar besi yang agak berkarat.
Siing. Tiada yang menyahut.
“Assalamu’alaikum” ku ulangi lagi salam ku. Kali ini terlihat sosok berkerudung yang keluar dari rumah itu dengan senyum yang selalu ditampakkannya.
“Wa’alaikumussalam” balas wanita itu yang tak lain adalah Bu Aminah, istri ustad Hamzah.
“Neng Amel, tumben kesini. Ada apa?” Tanya Bu Aminah dengan mata binarnya yang khas. Beliau adalah satu-satunya orang yang memanggilku dengan embel-embel “eneng”.
“Saya disuruh Umi untuk menanyakan jumlah roti yang dipesan Bu Aminah.” Jelasku singkat.
“Oh iya, tadi saya juga lupa memberitahunya. Silakan duduk di dalam, Neng.” Ujarnya sambil menarik lenganku dengan lembut. “mumpung kamu disini, ada sesuatu yang ingin ibu sampaikan ke kamu.” Sambungnya yang membuat ku bertanya-tanya. Tanpa pikir panjang, ku turuti kemauannya.
“Kemarin Pak Kades merundingkan tentang perayaan Idul Adha yang akan berlangsung beberapa hari mendatang .” Bu Aminah mulai angkat bicara setelah kami duduk di sofa yang empuk. “Kami sepakat untuk mengadakan lomba puisi bertemakan ketuhanan, yang akan diikuti oleh remaja-remaja seumuran kamu. Ibu tau kamu punya bakat berpuisi. Kamu mau ikut kan?” lanjutnya yang membuatku tercengang.
Deg-degan. Antara takut dan senang. “apa ini mimpi? Aku takut ini hanya mimpi. ” Batinku.
“Akan saya tanyakan ke umi dulu” jawabku.
Bu Aminah tersenyum. Mata binarnya menunjukkan kebanggaan seakan aku sudah menyetujui tawarannya. “kalau begitu lekas tanyakan hal ini pada Umi mu itu. Oh ya, kuenya pesan buat 280 jamaat ya.”
~$~
Ya Allah,
Hati ini merintih, menjerit, dan meronta
Namun mengapa mata ini kering
Sehingga tak bisa meneteskan air mata
Manusia berucap
Air mata itu lemah
Namun tidak untukku
Bagiku, ia adalah karunia terbesar-Mu
Tapi Ya Rabb, mengapa begitu sulit ku teteskan air mata ini
Apakah hatiku sudah membatu
Plok! Plok! Plok…
Suara tepuk tangan penonton, juri, serta peserta lain menghujaniku usai penampilanku dalam lomba puisi untuk menyambut Idul Adha.
Saat aku tanyakan perihal lomba ini pada umi dan abah, mereka sangat antusias untuk menyuruhku bergabung. Awalnya aku menolak karna kurang percaya diri. Namun, dengan suntikan man jadda wa jadda dari merekalah, aku jadi sangat bersemangat.
“apa yang kau tunggu, Amel? Bukankah ini impian mu sejak dulu? Kau ingin jadi seorang komposser, kan?” umi mencoba menyemangatiku dengan pertanyaan-pertanyaannya.
“iya Amel, ingat! tidak ada najis yang paling merusak kesucian umat yang ingin berprestasi kecuali kemalasan. Walaupun kau bukanlah pemalas, namun sifat mundur sebelum berperang itu juga termasuk sejenisnya.” Abah turut memberi semangat dengan kata-kata bijaknya.
Sejak itulah, aku sangat bersemangat. Ku ambil secarik kertas dan mencoba untuk menulis puisi. Setelah selesai, ku coba tuk berulang-ulang membacanya dengan intonasi dan artikulasi yang indah.
Hingga tibalah hari ini, dimana kepercayaan diriku mulai diuji kembali. Peserta demi peserta bergiliran menuju panggung. Aku sempat menggigil hebat karna deg-degan. Namun, lagi-lagi abah memberi petuah bijak padaku “man jadda wa jadda, Amel. Siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil.”
Dan saat tiba giliranku, akupun bisa membawakan puisi dengan usaha maksimalku.
“…dan peringkat pertama diduduki oleh” suara MC mendebarkan setiap jantung. “ selamat Amel Candra Arsyah”.
Umi dan Bu Aminah sontak memelukku dan sempat meneteskan air mata saat sang MC meneriakkan namaku dengan lantang. Abah terseyum bangga.
“benarkah? Mimpikah ini?” batinku.
“man jadda wa jadda. Itulah RAHASIAnya, Amel.” Ucap abah sambil berbisik.
Subhanallah. Rasanya aku ingin menangis. Ayah, ibu, aku bersyukur berjumpa dengan orang seperti abah dan umi, serta Bu Aminah. Ayah, ibu, kalian tenang saja, mereka sangat baik padaku. Aku kan selalu mendoakan kalian. Ayah, Ibu, kalian sedang apa di surga?

Tidak ada komentar:
Posting Komentar