“Ah, tidak. Aku lebih senang di sini melihat mereka bermain”
“Aku Mona” Ucap gadis kecil berwajah pasi seraya mengulurkan
tanggannya yang mungil ke hadapanku. Tangan kirinya menggendong boneka teddy
bear dan menggenggam sebuah kotak musik dengan ukiran kembang jawa.
“Nana” Aku pun membalas uluran tangannya yang terasa dingin dengan
cuaca sehangat ini. Wajahnya masih asing bagiku atau lebih tepatnya aku belum
pernah melihatnya di panti ini.
“Kamu anak baru yaa?” Tanyaku sambil mengamati kotak musik yang
digenggamnya erat.
Ia menggeleng.
Satu detik. Dua detik. Sing.. Hening.
“Kenapa kau tidak bermain dengan teman-teman mu?” Tanyanya kembali
“Bukankah sudah ku jawab pertanyaanmu itu. Aku lebih senang di sini
melihat mereka bermain” Jawabku sambil memainkan ujung rambutku yang keriting.
“Pergilah. Bermainlah dengan mereka. Aku yakin mereka akan senang.”
Ucapnya sedikit memaksa.
“Tidaaaaak!!” Tanpa kusadari suaraku pun bergetar, air mataku
menetes tanpa perlu dikomando. Tiba-tiba rasa benciku memuncak. Aku membenci
keaadaanku saat ini.
---S@N---
“Sudah belooom??” Teriak Husein sambil menyingkap kedua matanya
pada sebuah pohon besar di pelataran panti.
Suasana sore hari yang hangat dengan tawa ceria bocah asik berlari
ke sana kemari menggoda satu sama lain. Maklum anak kecil. Dengan sesekali Mbak
Ratih, pengurus setia panti lebih dari 15 tahun, meneriaki ke arah mereka
supaya tidak berlebihan saat bermain.
“Kenaaa!! Hahaha” Seru Husein bersemangat sambil menunjuk ke arah
kedua bocah yang bersembunyi di balik jungkat-jungkit tua yang terbuat dari ban
karet.
“Yaaahh… ini gara-gara kamu nih, ikut-ikutan sembunyi di sini”
“Yeee.. tadi kan aku dulu yang lari ke sini, kamu sih
ikut-ikutan” Keduanya pun saling baku siku.
“Tidaaaaak!!” Terdengar suara teriakan dari arah gedung kesenian.
Sontak semua wajah berpaling ke sumber suara.
“Hey, bukankah itu Nana si bocah gila” Ucap salah satu bocah sambil
menunjuk ke arah Nana yang saat itu sedang menunduk memeluk kedua lututnya.
“Sedang apa ia di sana?” Tanya Husein.
“Anak-anak, sudah hampir mahgrib ayo lekas masuk!” Teriak Mbak
Ratih dari pintu utama. Sedang para bocah tidak ada yang bergegas enyah, Mbak
Ratih pun menghampiri mereka. “Ada apa?” Tanya mbak Ratih sambil mengikuti
pusat perhatian mereka.
“Lihat mbak! Si bocah gila itu berulah lagi” Ucap Pertiwi sambil
mengelus sikunya.
“Sudahlah kalian lekas ke musholla, biar embak yang menghampiri
Nana” Ujar Mbak Ratih menenangkan.
---S@N---
Keesokan harinya…
“Kenapa kau tidak bermain dengan teman-teman mu?” Pertanyaan itu
terdengar lagi tatkala ku membereskan meja makanku sedang bocah lain sudah siap
dengan tumpukan buku di tangannya. Siap belajar.
“Mona?” Panggilku lirih
“Pergilah. Hampiri teman-teman mu. Bermainlah dengan mereka. Aku
yakin mereka akan senang.” Kalimat itu pun terdengar kembali.
“Mona? Kau kah itu? Dimana kau?” Panggilku lirih sambil celingukkan
mencari sosok mungil dengan boneka teddy bear-nya.
Satu detik. Dua detik. Sing... hening.
“Aku di sini” Ucap Mona dari balik daun pintu. Senyumnya mengembang
namun masih tetap dengan wajah pasinya yang diimbangi rambut kuncir kepang dua.
Kotak musik yang digenggamnya terbuka. Melihatkan ballerina cantik
yang berputar indah dengan alunan musik klasik dari mesin kotak itu.
“Hey, aku tidak melihat mu di meja makan pagi ini. kau tidak ikut
sarapan bersama kami?” Tanyaku sambil mengingat-ingat posisi duduk saat makan
tadi.
“Ah, kau saja yang tidak melihatku” Jawabnya
“Benarkah?” Tanyaku meyakinkan.
“Eheem..” Jawabnya singkat. “Kenapa kau tidak bermain dengan
teman-temanmu?” Lagi-lagi pertanyaan itu diulangnya kembali.
“Aku bosan menjawab pertanyaan itu. Sebenarnya apa peduli mu?
Lagipula kenapa tak kau turut dengan bocah lain? Lihat! Kelas sudah mau dimulai!”
Cerocos ku sambil mengangkat peralatan makan yang tadi ku pakai. Dengan
sesekali ku menoleh ke arah gedung utama, gedung tempat mengajar.
“Looh Nana, kenapa kamu masih di sini?” Sahut mbak Ratih
mengagetkanku. “Ayoo lekas ke gedung utama, teman-teman mu sudah mulai belajar
tuh.”
“Mona juga diajak dong mbak” Pintaku
“Mona?” Ucap Mbak Ratih mengingat-ingat mungkin ada salah satu anak
didik di panti ini yang ia lupa namanya. “Memangnya sekarang ia kemana?”
“Tadi ada di sini. Mungkin sedang keluar, biar tak panggil dulu
yaa, Mbak”
“Yaudah, kalau gitu embak ke gedung utama dulu. Cepet kesana loo”
“Siap!”
---S@N---
“A-y-ay-a-m-yam-ayam”
Pagi yang cerah. Seperti biasa, usai sarapan, para anak didik
langsung bergegas menuju gedung utama tuk mulai belajar. Mbak Ratih pun datang
dengan setumpuk buku yang tak kalah tebal dengan buku-buku yang dibawa para
bocah dengan sebelumnya mereka sudah digemparkan oleh peringai Nana yang aneh.
“Eh eh, Nana ngomong sama siapa tuh?” Pertiwi memulai. Menunjuk
Nana yang terlihat dari jarak kurang dari 5 meter dari daun pintu ruang makan.
“Mana? Mana? Mana?” Sontak bocah lain pun turut menggerumbul
melihat pusat arah jari telunjuk Pertiwi.
“Dasar bocah gila. Bukannya lekas belajar. Malah asik dengan
khayalannya sendiri” Celetuk salah satu bocah berbadan tambum.
“Huuust, dia melihat ke arah kita”
“Kasihan Nana. Tidak ada yang mau berteman dengannya”
“Memangnya kalian mau berteman dengan bocah gila seperti dia??” Celetuk
Husein sambil memainkan batang pensil miliknya.
Belum usai benar percakapan para bocah ingusan itu, Mbak Ratih
membuyarkan kerumunan mereka.
“Mbak, Nana mbolos belajar lagi tuh” Sahut Husein sambil
memonyongkan bibirnya ke arah Nana.
“Siapa bilang? Ia akan menyusul kesini bersama Mona. Sudahlah, ayoo
lanjutkan belajar”
Semua wajah para bocah itu saling melempar pandang satu sama lain.
Hanya satu pertanyaan di kepala mereka masing-masing. Memangnya siapa itu Mona?
Mereka pun bergidik kompak.
---S@N---
Terdengar suara kotak musik dari gedung kesenian. Semakin ku
mendekat, semakin keras suara tersebut.
“Mona??” Panggil ku lirih.
“Mona, sekarang sudah lewat 15 menit jam belajar. Ayo bergegas ke
gedung utama” Ajakku masih dengan celingukkan mencari sosok Mona.
Kotak musik itu, aku melihatnya terjatuh dari anak tangga. Tanpa
pikir panjang aku pun mengambilnya. Tidak jauh dari kotak musik tersebut, ku
lihat Mona menunduk memeluk kedua lututnya. “Apa ia sedang menangis?” Batinku.
“Kenapa kau tidak bermain dengan teman-teman mu?” Tanyanya lagi
sambil mengangkat wajah ke arahku.
Matanya sembab. “Ada apa dengan mu?”
“Kenapa kau tidak bermain dengan teman-teman mu?”
“huft. Okelah aku akan menjelaskannya padamu. Tapi kau jangan menangis
lagi.” Pintaku yang hanya dibalasnya dengan anggukan kepala.
“Sebenarnya, aku tidak nyaman berada di panti ini. mereka selalu
menganggapku aneh, gila, dan sebutan-sebutan lain yang membuatku begitu muak. Ya.
Mereka. Tidak hanya para bocah itu namun juga para pengurus. Sering kali mereka
membicarakanku walau ku tahu mereka selalu memasang wajah manis di hadapanku.
Kenyataan ini membuatku semakin tidak betah” Jelasku sambil memainkan kotak musik
yang terus berbunyi.
“Kalau begitu adanya, ikutlah denganku” Ajak Mona
“Kemana?”
“Akan ku tunjukkan padamu tempat di mana kedamaian bersemayam. Di sana
kau akan mendapatkan banyak teman dan kita akan bermain, tertawa, dan berbagi
cerita layaknya anak seusia kita. Bukan seperti ini, bukan dunia ini. itu pun
bila kau menghendaki” Jelasnya meyakinkan sembari meraih kotak musik yang ku
genggam.
Kotak musik terus mengalun. Ballerina cantik di dalamnya berputar
menari indah.
Satu detik. Dua deting. Sing..
Hanya melodi klasik dari kotak musik yang terdengar asik menguasai
suasana gedung tua ini.
Entah apa yang terjadi. Udara segar seakan menusuk pori-pori,
memainkan poniku yang juga keriting. Kututup kedua mataku sedang ku dengar
alunan melodi si kotak musik. Menenangkan.
Saat ku membuka mata..
“Hompimpa..alaihom..gambreeengg”
“Yaaa.. kamu jaga!! Hahhaa”
Kutemukan kakiku tak lagi menapaki gedung kesenian di panti yang
selalu membuatku muak.
“Hey, kamu! Apa yang kau lakukan di sana? Ayoo bermain bersama
kami!” Seru salah satu bocah memanggilku.
Dunia apa ini. Entahlah, aku tak peduli. Senyumku pun mengembang.
Ku langakahkan kaki menuju sekumpulan mereka yang tengah asik tertawa. Hatiku
pun turut tertawa. Kenapa tak sedari dulu ku disini.
“Sebentar, dimana Mona?” Batinku.
“Aku disini” Jawab suara dari balik punggungku. Wajahnya berseri
lengkap dengan boneka teddy bear dan kotak musik-nya. Senyum terkembang dari
kedua ujung bibirnya. “Selamat datang dalam kedamaian” Ucapnya.
Dunia apa ini. Entahlah, aku tak peduli. Sekali lagi ku rasakan
angin dingin menusuk pori. Dan inilah kedamaian yang tergambar. laksana tawa
yang enggan terbang. Dingin pun menusuk enggan menghangat. dan mungkin memang
beginilah seharusnya tempat ku.
---S@N---
20 tahun berselang…
“Lalu apa yang terjadi, Mbak?” Tanya salah satu bocah pada Pertiwi
yang saat ini telah menjadi pengurus panti.
“Entahlah. Sampai sekarang pun tak ada yang mengetahui kemana ia
pergi. Apa ia masih hidup atau sudah mati” Jelas Pertiwi sambil melirik ke arah
jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 10.
“Sudah larut malam, lekas tidur, jangan sampai sholat shubuh
kesiangan lagi” Ucap Pertiwi sambil membenahi selimut para anak didik yang
sebelumnya asik mendengarkan cerita si gadis misterius dengan teman khayalnya.
---S@N---
“Kenapa kau tidak bermain dengan teman-teman mu?”
Pertanyaan itu akan
terus muncul bila kau melamun sendiri sedang teman sebayamu tengah asik tertawa,
bermain, dan saling kejar. Teman khayalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar