Sabtu, 17 Januari 2015

THE VIOLIST

 #scansema :)

Ada yang diam termenung tanpa harapan di hadapan sebuah gundukan tanah dengan papan kayu pada ujung-ujungnya. Tentu ia takkan pernah lupa. Masa di mana seakan ia ingin mengubur dirinya hidup-hidup bersama raganya agar ia tak sanggup bangkit kembali pada sang fana.

Hingga ingin kumusnahkan hatinya agar  semua yang ia rasakan hilang tenggelam. Aku merasa berhutang nyawa padanya. Ini semua salahku. Aku malu. Sungguh malu. Ingin rasanya kutinggalkan jas putih serta predikat dokter yang selalu mengawali namaku. Semestinya kutolong orang itu.

Aaahh, mengapa dulu aku begitu bodoh. Hanya karena masalah biaya, aku tidak mau menolongnya. Pertama, ia datang ke rumah sakit dimana aku bekerja, ia sedang membawa adik perempuannya yang terkulai lemah. Lemah tak berdaya karena harus berjuang bergulat dengan penyakit yang dideritanya, Arteriosklerosis. Sejenis penyakit pada penyumbatan pembuluh darah.


“Anda sedang apa?”, ucap seseorang mengagetkan lamunanku.

Rupanya ia adalah gadis yang sedari tadi kuamati. Namun, dari tatapannya yang aneh, nampaknya ia tak ingat siapa aku. “Huuh.. syukurlah”, batinku.

Saya sedang … sedang … mencari makam nenek saya”, ucapku berbohong seraya menjaga sikap.

Singgg …  hening

Matanya terlihat sangat lelah, wajahnya pucat, seakan semua anggota tubuhnya telah benar-benar ia kubur hidup-hidup bersama sang adik. Gadis malang.

Permisi”, ucapnya sambil berlalu.
Makam nenek?”, tanyaku pada diri sendiri. “Haaahh..hahaha..”

                                                              @.@

Hari ini pasien cukup sepi. Jarum jam melongo tepat di hadapan angka 12. Kulepaskan jas putih yang sedari tadi membuatku sumpek lalu dengan sigap kulangkahkan kaki menuju sebuah kedai kecil di barat rumah sakit.

Kedai ini memang sederhana namun suasananya yang sangat damai dengan alunan merdu sebuah biola membuat setiap pengunjung merasakan kenyamanan dan keakraban. Pengunjung yang kurang lebih itu-itu saja setiap harinya sudah menjadi pelanggan di kedai ini. Tidak ada yang berbeda.

Sebentar. “violist baru?”, aku tak bisa begitu jelas melihatnya. Hanya rambut panjangnya yang ia biarkan tergerai menutupi sebelah matanya yang sayu serta gaun klasik yang ia kenakan sajalah yang dapat kuamati. Sebentar. Satu lagi. Dia mengenakan gelang yang melingkar pada tangan kanannya. Gadis misterius.

“Selamat siang, mas Reyhan”, sapa seorang pelayan kedai yang sudah lama akrab denganku. “Dia violist baru disini”, lanjut pelayan tadi.

Aku hanya bisa mengernyitkan dahi ketika pelayan ini mengatakan hal tersebut. Seakan ia tahu apa yang sedang ada dalam pikiranku.

Ya sudah, mas duduk dulu aja. Biar saya ambilkan pesenan Pak Dokter Muda. Seperti biasa, kan?”, tanyanya dengan sumringah dan hanya kubalas dengan anggukan kepala.

Sembari menunggu, seperti biasa aku selalu menikmati alunan biola yang rasanya ingin membawaku terbang dalam kedamaian. Namun, violist ini berhasil menggagalkan kebiasaanku itu. Ia membuatku penasaran. Sepertinya aku tidak asing dengan gelang yang ia kenakan.

Tiba-tiba ia menghentikan biolanya. Dia pun mulai beranjak dari tempatnya. Beranjak menuju salah satu pelayan seraya membisikkan suatu hal. Lalu ia melangkahkan kaki menuju pintu keluar dengan biola masih ditangannya.

Entah mahkluk apa yang telah mengangkat kaki ku hingga kini aku mengikutinya. Dan … dia sekarang ada di hadapanku. Ia mengangkat kepalanya yang kurasa sudah bertahun-tahun tak pernah sedikit pun ia angkat. Memandangku penuh tanda tanya dan kebisuan. Seakan aku adalah alien yang nyasar sampai bumi.

“Maaf, Anda menghalangi jalan saya”, ucapnya tanpa ekspresi.

“Oh … maaf ... saya tidak sengaja. Hmm ... saya ... saya …”, sepertinya ada mahkluk lain yang sedang mengikat lidahku sehingga sangat sulit tuk kuberkata.

“Permisi saya masih ada urusan”, ucapnya datar sambil berlalu.

Namun lagi-lagi ragaku terasa terdorong oleh seseorang yang sangat menginginkanku untuk mengenalnya lebih dekat.

“Saya ... hmm … permainan biolamu sangat bagus”.

Tiba-tiba ia berhenti dan membalikkan badannya. Senyum mengembang dari ujung bibirnya yang tipis. Cantik sekali. Seakan aku merasakan udara surga mengelilingiku. Namun, dia langsung membalikkan badannya lagi dan berlalu.

                                                                            @.@

Pagi ini tak secerah biasanya. Langit masih berkabut menutupi siluet mentari yang seharusnya sudah menyapu belahan bumi timur. Ahh.. seharusnya langit secerah hidupku karena hari ini adalah hari tenangku. Tak ada pasien dan tak ada jas putih yang selalu menyesakkan.

Sepertinya hujan akan mengguyur. rencananya, hari ini aku berniat akan berlibur ke pantai sekadar melepas penat yang selama berbulan-bulan belum sempat ku fresh-kan. Namun, rencana itu harus rela kubatalkan karena cuaca sedang tidak mendukung.

Akhirnya kuputuskan untuk meregangkan otot di pelataran rumah sambil menikmati coklat panas serta biskuit yang rencananya akan kubawa ke pantai. Benar. Tak lama setelah itu, hujan deras mengguyur.

Sekilas kumelihat seseorang dengan jubah merah sedang berlari menuju pohon yang berada tepat beberapa meter di depan rumahku. Seorang dengan biola di tangannya. Sekelebat dalam pikiranku, aku ingat pada seorang violist baru di kedai yang biasa ku kunjungi. Kuperhatikan sekali lagi. Tak salah. Rambut panjangnya yang terkuai dan gelang yang persis dengan seorang violist di kedai kemarin. Ya, aku ingat gelang itu. Kuambil payung lalu menghampiri gadis itu.

“Hai”, sapaku.

Dia hanya membalas dengan tatapan datar tanpa senyuman.

“Bukannya kemarin kita bertemu di kedai, ya?” ujarku sambil mengamati air mukanya “Oh ya, kenalin, aku Reyhan”,  lanjutku sambil mengulurkan tangan.

“Adrina”, jawabnya singkat tanpa menyambut uluran tanganku.

Kamu bisa berteduh di rumahku. Hujannya makin deras nih” ajakku sambil menarik pelan tangannya. Sesampainya di serambi rumah, kupersilakan ia duduk sejenak sambil menunggu kubuatkan teh panas.

“tunggu bentar, ya”, ucapku. Namun ia hanya merespon dengan menganggukkan kepala. Haahh … nampaknya aku harus mulai terbiasa dengan bahasa tubuh.

Selang beberapa menit. Aku keluar dengan secangkir teh panas di tangan kananku dan handuk tebal yang melingkar di tangan kiriku.

“Nunggu lama yaa..” ucapku basa-basi.

Namun … tak ada seorang pun di sini. Kusoroti dengan penuh ketelitian setiap ujung halaman rumah. Tak kutemukan seorang gadis dengan jubah merah tadi. Apa dia sudah pergi? Tanpa pamit? Dia sangat membuatku heran. Sangat heran. Penuh dengan keheranan.

Sebentar. Ada secarik kertas yang tergeletak di atas meja. Kertas itu terselip di bawah cangkir coklat panasku tadi.

Aku mohon. Jaga dia. Hidupnya sudah cukup menderita. Aku yakin kamu bisa mengembalikan senyumannya.

                                                                             @.@

Satu bulan kemudian……

Tragedi surat itu benar-benar membuatku bertanya-tanya. Apa maksud Adrina menulis surat itu. Aku yakin ia tidak asal menulis yang akhirnya membuatku hampir gila seperti ini. “Tidak … tidak … tidak ... aku tidak boleh gila”. Apa kata dunia kalau ada berita mencuat mengenai seorang dokter muda yang gila karena sepucuk surat misterius dari seseorang yang baru ia kenal.

Haaahhh … nampaknya pikiranku sudah mulai terganggu. Dia memintaku untuk menjaga seseorang. Siapa? Aku kan baru mengenalnya di kedai itu. Apa maksudnya?

Selama sebulan ini aku memang tidak bisa menemui Adrina untuk menanyakan maksud surat tersebut secara langsung karena setelah hari tenangku itu, aku harus pergi keluar Jawa untuk urusan sertifikasi. Tak sabar menunggu jarum jam menunjukkan angka 12. Ada kabar bahwa violist kedai itu sudah mengalami pergantian sejak seminggu yang lalu.


                                                                            @.@
            Satu hal yang baru aku sadari. Adrina adalah kakak dari pasien Arteriosklerosis beberapa bulan lalu. Dengan cepat kulangkahkan kaki menuju makam yang biasa Adrina kunjungi. Namun, rupanya di sini amat sepi. Sepi layaknya pemakaman lainnya. Sepertinya aku menemukan sesuatu. Sebuah dawai. Dawai patah termakan usia. Dawai tua.

“Siapa Anda? Mengapa Anda berdiri di dekat makam adik saya?”, tiba-tiba suara dengan nada menghardik terdengar dari balik punggungku.

Sontak aku terkaget sehingga dawai yang tadi kugenggam kini terjatuh. Aku pun membalikkan badan. Adrina? nampaknya tak salah lagi. Violist di kedai itu adalah Adrina yang adiknya dulu pernah kutolak untuk kuobati.

“Anda siapa?”, tanyanya sekali lagi dengan nada membentak.

“Tenang… tenang dulu. Saya … adalah orang yang sebulan lalu pernah mengatakan bahwa permainan biolamu bagus. Dan kamu juga pernah ke rumah saya saat hujan deras tapi kamu pergi begitu saja saat aku mengambilkan teh panas. Kamu meninggalkan secarik surat yang sangat membingungkanku”, jelasku panjang lebar

 “Kerumah Anda? Surat? Anda salah orang”, jawabnya pasti.

            “Tunggu. Anda adalah orang yang dulu mencari makam nenek Anda. Iya kan? Apa Anda sudah menemukannya? Dan perlu anda ketahui yang ada di hadapan Anda sekarang ini bukan makam nenek Anda. Ini adalah makan adik saya dan lebih baik anda pergi sekarang karena saya tidak suka ada orang asing yang menghampiri makam adik saya”, usirnya masih dengan nada datar.

Aku semakin heran. Sangat heran. Dia sangat membingungkan. Sangat membingungkan. Tak kutemukan senyum manisnya yang dapat membawa hawa surga pada sekelilingku.

Lalu dia terdiam. Diam. Terdiam lagi. Membuatku bingung.

“Anda bisa pergi sekarang”, ucapnya dengan nada lirih.

“Hm ... Adrina sebenarnya….”

“Adrina? Dari mana Anda mengenal nama adik saya?” ucapnya memotong perkataanku.

“….” Kali ini aku yang diam. Diam tanpa makna. Diam tanpa peduli. Diam menutup hati. Diam termangu. Diam, diam, dan diam di hadapan seorang gadis yang hampir membuatku gila.

“Adrina sudah meninggal beberapa bulan lalu. Anda tahu mengapa? Itu semua gara-gara seorang dokter yang sangat egois. Seorang dokter yang tak sadar bahwa ia juga menginjak tanah yang sama seperti yang diinjak kebanyakan orang”, jelasnya sambil menahan tetesan air mata pada pelupuk matanya yang tetap saja terlihat sayu.

Aku tahu siapa yang ia maksud. Dia sedang memakiku tepat dihadapanku. Namun aku yakin dia tidak menyadarinya karna ia tidak tahu bahwa aku adalah dokter egois itu. Dokter egois yang telah membiarkan harta, keluarga, teman, sekaligus sahabat satu-satunya itu pergi.

Suasana berubah menjadi hening. Langit mulai menampakkan kilatnya. Daun-daun berguguran karena terpaan angin, mendung. Sepertinya langit mengetahui apa yang sedang terjadi pada diri gadis misterius di depan ku ini.

Tetes air mata yang sedari tadi ia bendung pada kelopak matanya, kini mulai turun dan membasahi pipinya. Ingin sekali tangan ini menyeka air mata itu namun aku merasa dengan membiarkannya menangis akan membuatnya lebih tenang.

Sebaiknya aku tidak mengakui bahwa aku adalah dokter egois itu. Keadaan akan semakin parah jika ia mengetauhi bahwa dokter yang ia benci itu ada tepat di hadapannya.

“Boleh saya tahu siapa nama Anda?”, kali ini kuberanikan tuk bertanya.

“Adrila”

“Aa..apa kalian saudara kembar?”

“Iya, dia satu-satunya keluargaku. Kita sudah berjanji akan saling menjaga. Selalu bersama. Akan selalu ada untuk satu sama lain. Namun, setelah ia meninggal. Seakan ragaku terpotong-potong. Aku tak sanggup melanjutkan hidup ini. Tak sanggup. Sangat sulit berjalan sendiri mengenang setiap senyumnya. Dia adalah gadis yang selalu ceria. Selalu punya cerita. Dia keluargaku satu-satunya. Tapi Tuhan membawanya pergi. Tuhan mengambilnya.

“Aku sungguh tak sanggup berdiri tegap untuk beberapa menit saja. Kekuatanku telah sirna. Tuhan telah mengambilnya. Adrina adalah kekuatanku. Dia semangat hidupku. Namun mengapa Ia memanggil adikku terlebih dulu.”

Ia menjelaskan semuanya. Kali ini ia tidak terdiam. Ia tumpahkan segala rasa yang menyumbat batinnya selama ini. Pasti sulit baginya untuk menerima takdir yang begitu berat. Namun aku yakin Tuhan sedang menyiapkan suatu hal indah pada dirinya.

Namun, satu yang sekarang menjadi pertanyaan terbesar dalam otakku. Aku yakin Aku tidak salah dengar kalau gadis dengan jubah merah waktu itu adalah Adrina. Tapi. Apa maksudnya. Apakah ia ingin aku menjaga Adrila? Kakaknya?

“Bukankah tadi Anda bilang kalau anda melihat saya datang ke rumah Anda lalu meninggalkan sebuah surat?” tanyanya sambil menyeka air mata.

“A..ahhh.. tidak..mungkin saya salah orang. Iya salah orang”, jawabku. Untuk kesekian kalinya aku berbohong. Aku rasa ini akan lebih baik. Lebih baik hanya aku yang mengetahui kejadian itu. Sekarang aku semakin yakin bahwa Adrina ingin aku menjaga kakaknya.

“Lalu dari mana anda mengetahui nama adik saya?” tanyanya untuk kesekian kali. Rupanya ia sangat penasaran denganku.

“Hmm… aku… aku lihat tulisan pada ukiran nisan ini” jelasku. Namun, nampaknya ia masih saja penasaran. Ketika ia ingin melontarkan sebuah pertanyaan lagi. Aku segera memotong keinginannya tersebut.

“Oh ya..apa saya tadi sudah memperkenalkan diri? Kenalkan saya Reyhan”, ucapku sambil mengulurkan tangan sama persis ketika aku memperkenalkan diri pada Adrina yang rupanya ia adalah roh yang masih peduli akan nasib kakaknya.

Dia tak menjawab dan tak merespon. Namun, tampak sedikit demi sedikit ujung bibirnya tertarik. Dia tersenyum. Cantik sekali. Haaahhh..untuk kedua kalinya aku merasakan angin surga sedang mengelilingiku.

Tiba-tiba hujan deras turun membasahi sekeliling. Aku mengajaknya berteduh di bawah pohon yang cukup lebat hingga air hujan tak sanggup menerobos membasahi yang ada di bawahnya.

Sekelebat aku melihat seseorang dengan jubah merahnya sedang bermain biola di tengah-tengah derasnya hujan. Gadis manis dengan gelang melingkar pada tangan kirinya. Gadis malang dengan surat misteriusnya.

Gadis itu tersenyum padaku. Lalu aku melihat kearah Adrila. Namun ia nampak tak melihat apapun. Ekspresinya datar. Kulempar pandangan pada gadis berjubah merah tadi. Namun, dia sudah pergi.

Tanpa sadar aku pun tersenyum. Aku merasa akan menemukan sebuah kisah baru. Kisah baru yang mungkin akan berakhir termakan masa namun kisahnya tidak akan pernah berakhir.

 Adrina, aku berjanji akan menjaga Adrila. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar