#scansema :)
Ada yang diam termenung tanpa harapan di hadapan sebuah gundukan tanah dengan papan kayu pada ujung-ujungnya. Tentu ia takkan pernah lupa. Masa di mana seakan ia ingin mengubur dirinya hidup-hidup bersama raganya agar ia tak sanggup bangkit kembali pada sang fana.
Ada yang diam termenung tanpa harapan di hadapan sebuah gundukan tanah dengan papan kayu pada ujung-ujungnya. Tentu ia takkan pernah lupa. Masa di mana seakan ia ingin mengubur dirinya hidup-hidup bersama raganya agar ia tak sanggup bangkit kembali pada sang fana.
Hingga ingin kumusnahkan hatinya agar semua yang ia rasakan
hilang tenggelam. Aku merasa berhutang nyawa padanya. Ini semua salahku. Aku
malu. Sungguh malu. Ingin rasanya kutinggalkan jas putih serta predikat dokter
yang selalu mengawali namaku. Semestinya kutolong orang itu.
Aaahh, mengapa dulu aku begitu bodoh. Hanya karena masalah biaya, aku
tidak mau menolongnya. Pertama, ia datang ke rumah sakit dimana aku bekerja, ia
sedang membawa adik perempuannya yang terkulai lemah. Lemah tak berdaya karena
harus berjuang bergulat dengan penyakit yang dideritanya, Arteriosklerosis.
Sejenis penyakit pada penyumbatan pembuluh darah.
“Anda sedang apa?”, ucap
seseorang mengagetkan lamunanku.
Rupanya ia adalah gadis yang
sedari tadi kuamati. Namun, dari tatapannya yang aneh, nampaknya ia tak ingat
siapa aku. “Huuh.. syukurlah”, batinku.
“Saya sedang … sedang … mencari
makam nenek saya”, ucapku berbohong seraya menjaga sikap.
Singgg … hening
Matanya terlihat sangat lelah,
wajahnya pucat, seakan semua anggota tubuhnya telah benar-benar ia kubur
hidup-hidup bersama sang adik. Gadis malang.
“Permisi”, ucapnya sambil berlalu.
“Makam nenek?”, tanyaku pada diri
sendiri. “Haaahh..hahaha..”
@.@
Hari ini pasien cukup sepi. Jarum
jam melongo tepat di hadapan angka 12. Kulepaskan jas putih yang sedari tadi
membuatku sumpek lalu dengan sigap kulangkahkan kaki menuju sebuah kedai kecil
di barat rumah sakit.
Kedai ini memang sederhana namun
suasananya yang sangat damai dengan alunan merdu sebuah biola membuat setiap
pengunjung merasakan kenyamanan dan keakraban. Pengunjung yang kurang lebih
itu-itu saja setiap harinya sudah menjadi pelanggan di kedai ini. Tidak ada
yang berbeda.
Sebentar. “violist baru?”, aku
tak bisa begitu jelas melihatnya. Hanya rambut panjangnya yang ia biarkan
tergerai menutupi sebelah matanya yang sayu serta gaun klasik yang ia kenakan
sajalah yang dapat kuamati. Sebentar. Satu lagi. Dia mengenakan gelang yang
melingkar pada tangan kanannya. Gadis misterius.
“Selamat siang, mas Reyhan”, sapa
seorang pelayan kedai yang sudah lama akrab denganku. “Dia violist baru disini”,
lanjut pelayan tadi.
Aku hanya bisa mengernyitkan dahi
ketika pelayan ini mengatakan hal tersebut. Seakan ia tahu apa yang sedang ada
dalam pikiranku.
“Ya sudah, mas duduk dulu aja.
Biar saya ambilkan pesenan Pak Dokter Muda. Seperti biasa, kan?”, tanyanya dengan sumringah dan hanya kubalas dengan
anggukan kepala.
Sembari menunggu, seperti biasa
aku selalu menikmati alunan biola yang rasanya ingin membawaku terbang dalam
kedamaian. Namun, violist ini berhasil menggagalkan kebiasaanku itu. Ia
membuatku penasaran. Sepertinya aku tidak asing dengan gelang yang ia kenakan.
Tiba-tiba ia menghentikan
biolanya. Dia pun mulai beranjak dari tempatnya. Beranjak menuju salah satu pelayan
seraya membisikkan suatu hal. Lalu ia melangkahkan kaki menuju pintu keluar
dengan biola masih ditangannya.
Entah mahkluk apa yang telah
mengangkat kaki ku hingga kini aku mengikutinya. Dan … dia sekarang ada di hadapanku. Ia mengangkat kepalanya yang kurasa sudah
bertahun-tahun tak pernah sedikit pun ia angkat. Memandangku penuh tanda tanya
dan kebisuan. Seakan aku adalah alien yang nyasar sampai bumi.
“Maaf, Anda menghalangi jalan
saya”, ucapnya tanpa ekspresi.
“Oh … maaf ... saya tidak sengaja.
Hmm ... saya ... saya …”, sepertinya ada mahkluk lain yang sedang mengikat
lidahku sehingga sangat sulit tuk kuberkata.
“Permisi saya masih ada urusan”,
ucapnya datar sambil berlalu.
Namun lagi-lagi ragaku terasa
terdorong oleh seseorang yang sangat menginginkanku untuk mengenalnya lebih
dekat.
“Saya ... hmm … permainan biolamu sangat bagus”.
Tiba-tiba ia berhenti dan
membalikkan badannya. Senyum mengembang dari ujung bibirnya yang tipis. Cantik
sekali. Seakan aku merasakan udara surga mengelilingiku. Namun, dia langsung
membalikkan badannya lagi dan berlalu.
@.@
Pagi ini tak secerah biasanya.
Langit masih berkabut menutupi siluet mentari yang seharusnya sudah menyapu
belahan bumi timur. Ahh.. seharusnya langit secerah hidupku karena hari ini
adalah hari tenangku. Tak ada pasien dan tak ada jas putih yang selalu
menyesakkan.
Sepertinya hujan akan mengguyur.
rencananya, hari ini aku berniat akan berlibur ke pantai sekadar melepas penat
yang selama berbulan-bulan belum sempat ku fresh-kan.
Namun, rencana itu harus rela kubatalkan karena cuaca sedang tidak mendukung.
Akhirnya kuputuskan untuk meregangkan otot di pelataran rumah sambil menikmati coklat panas serta biskuit
yang rencananya akan kubawa ke pantai. Benar. Tak lama setelah itu, hujan deras
mengguyur.
Sekilas kumelihat seseorang
dengan jubah merah sedang berlari menuju pohon yang berada tepat beberapa meter di depan rumahku. Seorang dengan biola di tangannya. Sekelebat dalam
pikiranku, aku ingat pada seorang violist baru di kedai yang biasa ku kunjungi.
Kuperhatikan sekali lagi. Tak salah. Rambut panjangnya yang terkuai dan gelang
yang persis dengan seorang violist di kedai kemarin. Ya, aku ingat gelang itu.
Kuambil payung lalu menghampiri gadis itu.
“Hai”, sapaku.
Dia hanya membalas dengan tatapan
datar tanpa senyuman.
“Bukannya kemarin kita bertemu di kedai, ya?” ujarku sambil
mengamati air mukanya “Oh ya, kenalin, aku Reyhan”, lanjutku sambil
mengulurkan tangan.
“Adrina”, jawabnya singkat tanpa
menyambut uluran tanganku.
“Kamu bisa berteduh di rumahku.
Hujannya makin deras nih” ajakku sambil menarik pelan tangannya. Sesampainya di serambi rumah, kupersilakan
ia duduk sejenak sambil menunggu kubuatkan teh panas.
“tunggu bentar, ya”, ucapku.
Namun ia hanya merespon dengan menganggukkan kepala. Haahh … nampaknya aku
harus mulai terbiasa dengan bahasa tubuh.
Selang beberapa menit. Aku keluar
dengan secangkir teh panas di tangan kananku dan handuk tebal yang melingkar di
tangan kiriku.
“Nunggu lama yaa..” ucapku
basa-basi.
Namun … tak ada seorang pun di sini.
Kusoroti dengan penuh ketelitian setiap ujung halaman rumah. Tak kutemukan seorang
gadis dengan jubah merah tadi. Apa dia sudah pergi? Tanpa pamit? Dia sangat
membuatku heran. Sangat heran. Penuh dengan keheranan.
Sebentar. Ada secarik kertas yang
tergeletak di atas meja. Kertas itu terselip di bawah cangkir coklat panasku
tadi.
Aku mohon. Jaga dia. Hidupnya
sudah cukup menderita. Aku yakin kamu bisa mengembalikan senyumannya.
@.@
Satu bulan kemudian……
Tragedi surat itu benar-benar
membuatku bertanya-tanya. Apa maksud Adrina menulis surat itu. Aku yakin ia
tidak asal menulis yang akhirnya membuatku hampir gila seperti ini. “Tidak …
tidak … tidak ... aku tidak boleh gila”. Apa kata dunia kalau ada berita
mencuat mengenai seorang dokter muda yang gila karena sepucuk surat misterius
dari seseorang yang baru ia kenal.
Haaahhh … nampaknya pikiranku sudah mulai terganggu.
Dia memintaku untuk menjaga seseorang. Siapa? Aku kan baru mengenalnya di kedai
itu. Apa maksudnya?
Selama sebulan ini aku memang
tidak bisa menemui Adrina untuk menanyakan maksud surat tersebut secara
langsung karena setelah hari tenangku itu, aku harus pergi keluar Jawa untuk
urusan sertifikasi. Tak sabar menunggu jarum jam menunjukkan angka 12. Ada
kabar bahwa violist kedai itu sudah mengalami pergantian sejak seminggu yang
lalu.
@.@
Satu hal yang baru aku sadari. Adrina adalah kakak dari
pasien Arteriosklerosis beberapa bulan lalu. Dengan cepat kulangkahkan kaki
menuju makam yang biasa Adrina kunjungi. Namun, rupanya di sini amat sepi. Sepi
layaknya pemakaman lainnya. Sepertinya aku menemukan sesuatu. Sebuah dawai.
Dawai patah termakan usia. Dawai tua.
“Siapa Anda? Mengapa Anda berdiri
di dekat makam adik saya?”, tiba-tiba suara dengan nada menghardik terdengar
dari balik punggungku.
Sontak aku terkaget sehingga
dawai yang tadi kugenggam kini terjatuh. Aku pun membalikkan badan. Adrina?
nampaknya tak salah lagi. Violist di kedai itu adalah Adrina yang adiknya dulu
pernah kutolak untuk kuobati.
“Anda siapa?”, tanyanya sekali
lagi dengan nada membentak.
“Tenang… tenang dulu. Saya …
adalah orang yang sebulan lalu pernah mengatakan bahwa permainan biolamu bagus.
Dan kamu juga pernah ke rumah saya saat hujan deras tapi kamu pergi begitu saja
saat aku mengambilkan teh panas. Kamu meninggalkan secarik surat yang sangat
membingungkanku”, jelasku panjang lebar
“Kerumah Anda? Surat? Anda
salah orang”, jawabnya pasti.
“Tunggu. Anda adalah orang yang dulu mencari makam nenek
Anda. Iya kan? Apa Anda sudah menemukannya? Dan perlu anda ketahui yang ada di
hadapan Anda sekarang ini bukan makam nenek Anda. Ini adalah makan adik saya dan
lebih baik anda pergi sekarang karena saya tidak suka ada orang asing yang
menghampiri makam adik saya”, usirnya masih dengan nada datar.
Aku semakin heran. Sangat heran.
Dia sangat membingungkan. Sangat membingungkan. Tak kutemukan senyum manisnya
yang dapat membawa hawa surga pada sekelilingku.
Lalu dia terdiam. Diam. Terdiam
lagi. Membuatku bingung.
“Anda bisa pergi sekarang”, ucapnya
dengan nada lirih.
“Hm ... Adrina sebenarnya….”
“Adrina? Dari mana Anda mengenal
nama adik saya?” ucapnya memotong perkataanku.
“….” Kali ini aku yang diam. Diam
tanpa makna. Diam tanpa peduli. Diam menutup hati. Diam termangu. Diam, diam,
dan diam di hadapan seorang gadis yang hampir membuatku gila.
“Adrina sudah meninggal beberapa
bulan lalu. Anda tahu mengapa? Itu semua gara-gara seorang dokter yang sangat
egois. Seorang dokter yang tak sadar bahwa ia juga menginjak tanah yang sama
seperti yang diinjak kebanyakan orang”, jelasnya sambil menahan tetesan air
mata pada pelupuk matanya yang tetap saja terlihat sayu.
Aku tahu siapa yang ia maksud.
Dia sedang memakiku tepat dihadapanku. Namun aku yakin dia tidak menyadarinya
karna ia tidak tahu bahwa aku adalah dokter egois itu. Dokter egois yang telah
membiarkan harta, keluarga, teman, sekaligus sahabat satu-satunya itu pergi.
Suasana berubah menjadi hening.
Langit mulai menampakkan kilatnya. Daun-daun berguguran karena terpaan angin, mendung.
Sepertinya langit mengetahui apa yang sedang terjadi pada diri gadis misterius
di depan ku ini.
Tetes air mata yang sedari tadi
ia bendung pada kelopak matanya, kini mulai turun dan membasahi pipinya. Ingin
sekali tangan ini menyeka air mata itu namun aku merasa dengan membiarkannya
menangis akan membuatnya lebih tenang.
Sebaiknya aku tidak mengakui
bahwa aku adalah dokter egois itu. Keadaan akan semakin parah jika ia
mengetauhi bahwa dokter yang ia benci itu ada tepat di hadapannya.
“Boleh saya tahu siapa nama Anda?”,
kali ini kuberanikan tuk bertanya.
“Adrila”
“Aa..apa kalian saudara kembar?”
“Iya, dia satu-satunya
keluargaku. Kita sudah berjanji akan saling menjaga. Selalu bersama. Akan
selalu ada untuk satu sama lain. Namun, setelah ia meninggal. Seakan ragaku
terpotong-potong. Aku tak sanggup melanjutkan hidup ini. Tak sanggup. Sangat
sulit berjalan sendiri mengenang setiap senyumnya. Dia adalah gadis yang selalu
ceria. Selalu punya cerita. Dia keluargaku satu-satunya. Tapi Tuhan membawanya
pergi. Tuhan mengambilnya.
“Aku sungguh tak sanggup berdiri
tegap untuk beberapa menit saja. Kekuatanku telah sirna. Tuhan telah
mengambilnya. Adrina adalah kekuatanku. Dia semangat hidupku. Namun mengapa Ia
memanggil adikku terlebih dulu.”
Ia menjelaskan semuanya. Kali ini
ia tidak terdiam. Ia tumpahkan segala rasa yang menyumbat batinnya selama ini.
Pasti sulit baginya untuk menerima takdir yang begitu berat. Namun aku yakin
Tuhan sedang menyiapkan suatu hal indah pada dirinya.
Namun, satu yang sekarang menjadi
pertanyaan terbesar dalam otakku. Aku yakin Aku tidak salah dengar kalau gadis
dengan jubah merah waktu itu adalah Adrina. Tapi. Apa maksudnya. Apakah ia ingin
aku menjaga Adrila? Kakaknya?
“Bukankah tadi Anda bilang kalau
anda melihat saya datang ke rumah Anda lalu meninggalkan sebuah surat?”
tanyanya sambil menyeka air mata.
“A..ahhh.. tidak..mungkin saya
salah orang. Iya salah orang”, jawabku. Untuk kesekian kalinya aku berbohong.
Aku rasa ini akan lebih baik. Lebih baik hanya aku yang mengetahui kejadian
itu. Sekarang aku semakin yakin bahwa Adrina ingin aku menjaga kakaknya.
“Lalu dari mana anda mengetahui
nama adik saya?” tanyanya untuk kesekian kali. Rupanya ia sangat penasaran
denganku.
“Hmm… aku… aku lihat tulisan pada
ukiran nisan ini” jelasku. Namun, nampaknya ia masih saja penasaran. Ketika ia
ingin melontarkan sebuah pertanyaan lagi. Aku segera memotong keinginannya
tersebut.
“Oh ya..apa saya tadi sudah
memperkenalkan diri? Kenalkan saya Reyhan”, ucapku sambil mengulurkan tangan
sama persis ketika aku memperkenalkan diri pada Adrina yang rupanya ia adalah
roh yang masih peduli akan nasib kakaknya.
Dia tak menjawab dan tak
merespon. Namun, tampak sedikit demi sedikit ujung bibirnya tertarik. Dia
tersenyum. Cantik sekali. Haaahhh..untuk kedua kalinya aku merasakan angin
surga sedang mengelilingiku.
Tiba-tiba hujan deras turun
membasahi sekeliling. Aku mengajaknya berteduh di bawah pohon yang cukup lebat
hingga air hujan tak sanggup menerobos membasahi yang ada di bawahnya.
Sekelebat aku melihat seseorang
dengan jubah merahnya sedang bermain biola di tengah-tengah derasnya hujan.
Gadis manis dengan gelang melingkar pada tangan kirinya. Gadis malang dengan
surat misteriusnya.
Gadis itu tersenyum padaku. Lalu
aku melihat kearah Adrila. Namun ia nampak tak melihat apapun. Ekspresinya
datar. Kulempar pandangan pada gadis berjubah merah tadi. Namun, dia sudah
pergi.
Tanpa sadar aku pun tersenyum.
Aku merasa akan menemukan sebuah kisah baru. Kisah baru yang mungkin akan
berakhir termakan masa namun kisahnya tidak akan pernah berakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar